Romantika Perjalanan “Cinta, Masa Lalu dan Masa Depan”
Segelas
schoth dan martini menemani Marno dan Jane diantara jendela, mereka berdua
duduk bermalas-malasan sambal memandang bulan, diantara perbincangannya,
mengupas tentang bulan yang tak ada jeda diantara obrolan mereka.
Pembuka
obrolan yang indah bagi mereka, memandang dalam rindunya diantara cerita
rembulan dan Alaska. Suara gelas dan botol beradu, beriringan membuka suara
yang nyaring, disamping itu pula diputarnya radio sehingga mengeluarkan
beberapa bait lagu dan music yang beriringan, yang tak karuan perpaduannya.
Namun, kisah cerita Marno dan Jane semakin menghangatkan ruangan.
Sebuah
cerita yang menggugah romansa cinta, perjalanan, dan nostalgia akan masa yang
sudah dilalui dan masa yang akan disinggahi. Memadukan kasih, cinta, dan masa
depan. Tak sedikit pula ada harapan yang yang terselip didalamnya.
Seribu
Kunang-kunang di Manhatan, karya Umar Kayam memberikan sentuhan cerita yang
berbeda dari setiap masanya, sehingga memadukan antara perjalanan, perasaan,
hingga harapan. Ditulis pada tahun 1968-1980, karya yang menggugah bagi para
pembacanya ini telah mendapatkan penghargaan dan hadiah
majalah Horison 1966/1967.
Umar Kayam adalah seorang penulis, budayawan, dan akademisi. Ia berkarya sebagai Guru Besar Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Umar Kayam terkenal karena novelnya, Para Priyayi (1991), dan kumpulan esainya yang terbit di Tempo dan Kedaulatan Rakyat.
Umar Kayam lahir pada Tahun 30
April 1930, bertempat di Ngawi-Jawa Timur. Beliau wafat pada 16 Maret 2002 di
Jakarta. Umar Kayam
lahir dan besar di Ngawi. Ia mendapatkan gelar sarjana muda
dari Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada pada
tahun 1955. Di Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam
terbentuknya kehidupan teater kampus; salah satu muridnya adalah Rendra.
Umar Kayam kemudian mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan kuliahnya ke Amerika Serikat. Ia meraih gelar M.A. dari Universitas New York (1963),
dan Ph.D. dari Universitas Cornell (1965).
Disertasi doktoralnya berjudul Aspects of Inter-Departemental Coordination
Problems in Indonesia Community Development.
Dari tahun 1966 hingga 1969, Kayam menjabat
sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film di Departemen
Penerangan dan pernah pula duduk di Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah meninggalkan
pemerintahan, ia menjabat sebgai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972)
dan Ketua Dewan Film
Nasional (1978-1979).
Kayam mengajar di alma mater-nya, Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, sampai pensiun sebagai guru besar pada tahun
1997. Di Gadjah Mada, ia ikut mendirikan dan memimpin Lembaga Penelitian
Kebudayaan. Selain itu, ia pernah pula menjabat sebagai Direktur Pusat Latihan
Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Hasanuddin (1975-1976)
dan sebagai dosen tamu di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara. Pada tahun 1973, ia mendapatkan posisi
sebagai senior fellow pada East-West Centre di, Honolulu, Hawaii.
Di
bidang Budaya ia pernah menjadi anggota penyantun/penasihat di Majalah Horison
(mengundurkan diri sejak 1 September 1993), Bersama-sama dengan Ali Audah, Arif
Budiman, Goenawan Mohamad, Aristides Katoppo, Dekan Kesenian Jakarta,
(1969-1972), dan anggota Akademi Jakarta (1988-seumur hidup).
Ia pernah terlibat di bidang film. Sebagai aktor, ia pernah memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Selain itu, ia pernah menjadi pemeran pembantu dalam Karmila (1974) dan Kugapai Cintamu (1976). Ia juga pernah menulis skenario film. Skenarionya, Yang Muda Yang Bercinta, difilmkan oleh Sjumandjaja pada tahun 1977. Pada tahun 1978 ia menulis skenario Jalur Penang dan Bulu-Bulu Cendrawasih.
Tokoh yang terdapat di dalam cerita “Seribu
Kunang-kunang di Manhatan” diantaranya Marno, Jane, dan Tomy. Dalam cerpen
“Seribu Kunang-kunang di Manhatan” menggunakan alur mundur dan alur maju,
dengan menceritakan masa lalu serta pengalaman yang telah di lalui.
Alur tempat yang terdapat di dalam cerita pendek
“Seribu Kunang-kunang di Manhatan” berlokasia di dalam rumah (ruangan) Alaska,
Central Park Zoo, dan tempat tidur.
Cerita Pendek “Seribu Kunang-kunang di
Manhatan” termasuk kedalam tema romance, perjalanan, dan fiktif. Bahasa yang
digunakan dalam alur cerita pendek “Seribu Kunang-kunang di Manhatan”
menggunakan bahasa Populer.
Ragam cerita yang dikisahkan sepanjang alur
cerita pendek “Seribu Kunang-kunang di Manhatan” kompleks, yang mengarah kepada
cerita romansa kisah dua orang (tokoh) yang mengulas akan perjalanan
kehidupannya yang telah dilalui, serta perasaanya yang menggebu-gebu akan watak
tokoh marno dan Jane.
Huda Rofik Hamzah
Garut, 22 November 2022
Tidak ada komentar